Akhir November lalu, OpenAI, perusahaan riset kecerdasan buatan (AI), meluncurkan ChatGPT. Teknologi ini merupakan model chatbot yang mampu berkomunikasi dengan penggunanya. Publik dapat menanyakan apa saja ke ChatGPT mulai dari pertanyaan sederhana hingga ilmiah.
Menariknya, ChatGPT dapat merespons tugas seperti menulis kode pemrograman, menulis esai, bahkan menulis rencana konseling untuk pasien yang akan menggunakan obat tertentu. Munculnya ChatGPT sebagai aplikasi kecerdasan buatan dapat mendisrupsi berbagai bidang, termasuk bidang farmasi.
Jika AI sudah berkembang seperti ini, mungkinkah peran apoteker di masa depan akan tergeser oleh AI?
Pendidikan farmasi memiliki peran penting dalam merangkul inovasi ini. Sayangnya, survei Federation of International Pharmaceuticals (FIP) tentang kesehatan digital dalam pendidikan farmasi pada tahun 2020 menemukan bahwa lebih dari setengah (57%) dari 260 akademisi yang disurvei mengatakan layanan kesehatan digital (Digital Health) tidak diajarkan kepada para mahasiswa.
Penerapan kecerdasan buatan di farmasi
Kecerdasan buatan adalah bidang ilmu komputer yang bertujuan untuk meniru kecerdasan manusia melalui sistem komputer. Di bidang kesehatan, penggunaan AI termasuk dalam lingkup kesehatan digital (digital health).
Meski penggunaannya di masyarakat belum masif seperti aplikasi smartphone atau perangkat pintar seperti jam tangan pintar, kecerdasan buatan memiliki kemampuan menganalisis dan melakukan tugas yang dapat membantu pekerjaan manusia di masa depan.
Dalam penelitian dan pengembangan obat, penggunaan kecerdasan buatan dapat membantu pengambilan keputusan, merampingkan inovasi, meningkatkan efisiensi penelitian dan uji klinis. AI juga membantu menghasilkan alat baru untuk dokter, konsumen, perusahaan asuransi, dan regulator.
Salah satu perusahaan, GNS Healthcare, menggunakan alat AI yang disebut Reverse Engineering, Forward Simulation (REFS) untuk menentukan hubungan sebab-akibat antara berbagai jenis data. Perangkat ini juga dapat mentransfer jutaan data klinis, data genetik, hasil tes lab, data obat, data konsumen dan sebagainya.
Sementara itu, perusahaan lain bernama Atomwise mengembangkan AtomNet. Perangkat ini dapat memprediksi sifat ikatan kimia molekul obat dan aktivitas obat dalam tubuh. Dengan bantuan teknologi ini, ahli kimia farmasi dapat melakukan penemuan dan desain obat dalam hitungan minggu.
Tidak hanya dalam penelitian pengembangan obat, AI juga digunakan untuk membantu pengelolaan persediaan obat di apotek. Teknologi ini membantu menganalisis dan memprediksi kebutuhan obat pasien, sehingga apotek memberikan persediaan obat yang lebih akurat.
Di Cina, teknologi AI juga digunakan untuk meninjau kepatuhan resep obat dengan standar terapi rasional. Meski dibantu AI, apoteker tetap melakukan pemeriksaan terakhir sebelum menyerahkan obat ke pasien.
Kecerdasan buatan belum masuk dalam kurikulum pendidikan farmasi
Kemampuan kecerdasan buatan untuk menganalisis data dalam skala besar dan menghasilkan rekomendasi tentang kondisi kesehatan pasien dapat mengubah masa depan layanan farmasi. Hanya apoteker yang siap beradaptasi dengan teknologi AI yang akan mendapat manfaat dari situasi ini.
Sayangnya, materi kesehatan digital, termasuk kecerdasan buatan, belum menjadi bagian dari kurikulum pendidikan farmasi di universitas di seluruh dunia.
Survei International Pharmacy Federation (FIP) tentang kesehatan digital dalam pendidikan farmasi pada tahun 2020 menunjukkan bahwa hanya 112 (43%) dari 260 responden akademik yang mengatakan bahwa materi kesehatan digital tersedia di universitas, terintegrasi ke dalam mata kuliah lain atau sebagai mata kuliah terpisah.Topik Kecerdasan buatan masih relatif jarang diajarkan dibandingkan dengan topik lain seperti aplikasi seluler dan konseling pasien jarak jauh (teleconsulting).
Namun, sejumlah universitas luar negeri telah memimpin dalam pengajaran materi AI kepada mahasiswa farmasi. Di Universitas La Trobe, Australia, topik AI diajarkan dalam kursus terpisah di tahun kedua pendidikan sarjana farmasi. Sementara itu, di Universitas Utrecht di Belanda, materi AI diajarkan dalam kursus yang dirancang untuk melibatkan siswa.
Di Indonesia, beberapa institusi mengajarkan penerapan teknologi digital di bidang farmasi melalui mata kuliah Digital Clinical Pharmacy (Institut Teknologi Bandung), Informatika Farmasi (Universitas Padjadjaran) dan Informatika Farmasi (Universitas Jember).
Belum diketahui secara pasti berapa perguruan tinggi farmasi di Indonesia yang memasukkan komponen farmasi digital atau komputer ke dalam kurikulumnya, apalagi secara khusus mengajar mahasiswa tentang AI.
Tantangan mengadopsi AI dalam pendidikan apoteker
Meskipun keberadaan AI saat ini adalah suatu keharusan, mengajar tentang AI memiliki tantangan tersendiri. Hal ini karena integrasi materi terkait kesehatan digital (termasuk AI) belum terstandarisasi, sehingga sulit untuk mengharapkan semua perguruan tinggi farmasi mengadopsi AI dalam kurikulum.
Kesiapan perguruan tinggi farmasi ditentukan oleh kemampuan sivitas akademika yang terampil dalam industri kesehatan digital. Alangkah baiknya jika akademisi farmasi memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang ini. Hanya saja, aspek teknologi kesehatan digital, termasuk kecerdasan buatan, biasanya dikuasai oleh akademisi dengan latar belakang keilmuan teknologi informasi.
Untuk itu perlu adanya kerjasama antara perguruan tinggi farmasi dengan akademisi dan peneliti teknologi informasi agar topik kesehatan digital dapat diajarkan secara efektif kepada mahasiswa.
Kemitraan juga diperlukan bagi perguruan tinggi untuk berbagi sumber daya, mengingat perangkat teknologi yang diperlukan seringkali tersedia dalam jumlah terbatas dan relatif mahal.
Perguruan tinggi farmasi harus memimpin dalam mempersiapkan apoteker yang siap menerapkan teknologi AI dalam pelayanan kefarmasian di masa depan.
Langkah pertama, materi terkait kesehatan digital (termasuk kecerdasan buatan) harus diintegrasikan ke dalam kurikulum farmasi. Hal ini penting agar lulusan memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar terkait AI.
Selain integrasi kurikulum, pilihan mata kuliah pilihan dan pelatihan bersertifikat juga dapat dianggap sebagai tahap awal adopsi.
Langkah selanjutnya adalah memberikan program pendidikan profesi berkelanjutan dan pengesahan bagi apoteker yang sedang berpraktik di rumah sakit, apotek, puskesmas, klinik, serta bekerja di industri dan bidang lainnya.
Program ini dapat dikembangkan melalui kerjasama antara perguruan tinggi dengan organisasi profesi serta pemangku kepentingan lainnya. Di Indonesia, salah satu organisasi yang fokus pada pengembangan farmasi digital adalah Perkumpulan Informatika Farmasi Indonesia (PIFI).
Akhirnya, penerapan AI dalam kesehatan sudah menjadi kebutuhan. Sinergi berbagai pihak diperlukan untuk meningkatkan kemampuan apoteker dalam mengadopsi teknologi AI di bidang farmasi secara efektif dan bertanggung jawab.